April 25, 2025

Globalassessmenttool – Perangkat Canggih Teknologi Terbaru

Berbagai inovasi teknologi yang sangat menarik dan secara signifikan mengubah cara kita hidup

Media Sosial dan Fenomena “Flex Culture”: Dampaknya pada Mental Health!!!

Dalam era digital yang serba cepat dan visual, media sosial telah menjadi panggung utama bagi siapa pun yang ingin menunjukkan eksistensi, pencapaian, dan gaya hidup. Dari unggahan liburan mewah, barang branded, hingga kesuksesan karier yang terlihat mengagumkan, semua bisa dibagikan dalam hitungan detik. Di balik tren ini, muncul satu fenomena yang makin populer: “flex culture”.

Baca Juga : 

Flexing” di media sosial berarti menunjukkan pencapaian atau kekayaan sebagai bentuk prestise atau status. Meski bagi sebagian orang ini dianggap wajar bahkan memotivasi, ternyata fenomena ini menyimpan dampak yang cukup serius terhadap kesehatan mental, terutama bagi mereka yang terus-menerus membandingkan diri dengan kehidupan “sempurna” yang terlihat di layar.

Lantas, bagaimana sebenarnya flex culture terbentuk? Dan apa saja pengaruhnya terhadap kondisi psikologis masyarakat, khususnya generasi muda?

1. Apa Itu Flex Culture?

Flex culture adalah budaya di mana seseorang merasa perlu menunjukkan pencapaian, kekayaan, atau gaya hidupnya di media sosial secara terbuka. Kata “flex” berasal dari slang bahasa Inggris yang berarti memamerkan atau menyombongkan sesuatu.

Contoh-contohnya antara lain:

  • Unggahan mobil atau gadget terbaru dengan caption seperti “hasil kerja keras sendiri 💸”
  • Foto liburan di destinasi mahal yang disertai #blessed atau #workhardplayhard
  • Pamer penghasilan bulanan, transaksi e-wallet, atau tabungan investasi di Instagram story

Meskipun tak semua orang melakukannya dengan niat pamer, flex culture secara tidak langsung mendorong terbentuknya standar sosial yang tidak realistis—di mana nilai seseorang diukur dari apa yang tampak, bukan dari nilai pribadi atau proses perjuangannya.

2. Algoritma Media Sosial: Mesin Pendorong Budaya Pamer

Media sosial, khususnya Instagram, TikTok, dan Facebook, memiliki algoritma yang menyukai konten visual, glamor, dan emosional. Artinya, unggahan yang menampilkan kemewahan, gaya hidup menarik, atau pencapaian bombastis akan cenderung mendapatkan lebih banyak likes, views, dan exposure.

Akibatnya:

  • Banyak pengguna terdorong untuk menampilkan sisi “terbaik” dari hidup mereka.
  • Muncul dorongan untuk membeli barang bukan karena butuh, tapi karena ingin tampil menarik di media sosial (impulse spending demi konten).
  • Ketika unggahan mendapat sedikit respons, timbul rasa tidak dihargai atau kurang berarti.

Fenomena ini menciptakan siklus dopamin sementara yang bisa membuat seseorang menjadi sangat tergantung pada validasi eksternal, alias likes addiction.

3. Dampaknya terhadap Mental Health

Budaya flex ini bukan hanya menciptakan tekanan sosial, tapi juga berdampak langsung pada kesehatan mental, terutama pada remaja dan dewasa muda. Beberapa dampaknya antara lain:

a. Social Comparison (Perbandingan Sosial yang Tidak Sehat)

Pengguna media sosial sering kali membandingkan kehidupannya dengan orang lain yang tampak lebih “sukses”, meskipun tidak tahu cerita di balik layar.

“Kenapa aku belum punya rumah di usia segini?” “Kok dia bisa jalan-jalan terus, aku kerja mulu?” “Gajiku kecil banget dibanding mereka.”

Hal ini bisa memicu perasaan rendah diri, iri, dan frustrasi.

b. FOMO (Fear of Missing Out)

Melihat orang lain “flexing” bisa memunculkan rasa tertinggal atau tidak cukup. FOMO ini menimbulkan kecemasan berlebihan, yang dalam jangka panjang bisa menurunkan kualitas hidup.

c. Depresi dan Kecemasan

Studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang intens—terutama untuk konsumsi konten glamor—berkaitan erat dengan meningkatnya gejala depresi dan gangguan kecemasan.

d. Tekanan untuk Berpura-pura

Banyak orang merasa harus menunjukkan versi “sempurna” dari hidupnya, meskipun kenyataannya tidak seperti itu. Tekanan untuk tampil sempurna ini melelahkan secara emosional dan bisa menurunkan kepercayaan diri yang autentik.

4. Tidak Semua yang Ditampilkan adalah Kenyataan

Salah satu hal paling penting untuk diingat adalah: media sosial hanya menampilkan highlight, bukan keseluruhan cerita.

  • Foto rumah mewah tidak menunjukkan beban cicilan di baliknya.
  • Liburan eksotis tidak selalu berarti hidup bebas stres.
  • Outfit mahal bisa jadi hasil paylater atau hutang konsumtif.

Kita perlu menanamkan pemahaman bahwa media sosial adalah ruang kurasi—orang memilih apa yang ingin ditampilkan. Oleh karena itu, membandingkan diri dengan versi editan kehidupan orang lain bukanlah langkah yang sehat.

5. Mengembalikan Fungsi Sehat Media Sosial

Media sosial sejatinya bisa menjadi ruang positif jika digunakan secara bijak. Berikut beberapa cara untuk menjaga kesehatan mental dari pengaruh negatif flex culture:

  • Kurasi akun yang diikuti: Unfollow atau mute akun yang membuatmu merasa tidak cukup baik.
  • Batasi waktu layar: Gunakan fitur screen time untuk mengontrol penggunaan harian.
  • Berlatih self-awareness: Sadari kapan kamu mulai membandingkan diri dan segera alihkan perhatian.
  • Utamakan konten edukatif dan inspiratif dibanding konten pamer dan konsumtif.
  • Fokus pada pertumbuhan pribadi, bukan validasi eksternal.

Ingat, nilai seseorang tidak diukur dari jumlah followers, likes, atau barang bermerek, tapi dari karakter, tujuan hidup, dan kontribusi positifnya.

Penutup: Jeda dari Dunia Pamer, Kembali ke Diri Sendiri

Flex culture di media sosial tidak akan hilang dalam waktu dekat. Tapi kita punya kendali atas bagaimana kita meresponsnya. Kita bisa memilih untuk tidak terjebak dalam permainan perbandingan, dan mulai merayakan hidup kita sendiri—apa adanya, bukan berdasarkan standar dunia maya.

Karena pada akhirnya, yang benar-benar berarti bukan seberapa mengkilap unggahan kita, tapi seberapa damai hati kita ketika layar dimatikan.

Share: Facebook Twitter Linkedin

Comments are closed.