
Media Sosial dan Krisis Keaslian: Apakah Kita Menjadi Diri Sendiri?
Di tengah gemerlap dunia digital, media sosial menjelma menjadi panggung raksasa tempat jutaan orang berlomba tampil, berbagi, dan “menjadi sesuatu”. Namun di balik foto-foto estetik, video yang dikurasi rapi, dan caption yang seolah spontan, tersimpan satu pertanyaan penting yang makin sering muncul: Apakah kita benar-benar menjadi diri sendiri di media sosial? Atau justru sedang mengalami krisis keaslian?
Fenomena ini bukan sekadar kekhawatiran emosional. Ia telah menjadi persoalan psikologis, sosial, bahkan budaya di era digital. Mari kita telusuri lebih dalam bagaimana media sosial mempengaruhi keaslian diri kita—dan bagaimana kita bisa tetap otentik di tengah tekanan untuk tampil “sempurna”.
Dunia Virtual, Identitas yang Dikurasi
Media sosial memungkinkan siapa pun untuk menciptakan versi terbaik dari dirinya sendiri. Kita bisa memilih foto mana yang paling menarik, menulis caption yang paling witty, atau hanya membagikan sisi kehidupan yang terlihat bahagia, sukses, dan penuh warna.
Namun di balik semua itu, sering kali ada upaya “mengedit” kenyataan. Hidup nyata penuh ketidaksempurnaan, tetapi yang tampil di media sosial seolah-olah adalah kehidupan ideal tanpa cela. Inilah yang disebut dengan kurasi identitas—proses memilih dan menyaring aspek tertentu dari diri untuk ditampilkan secara publik.
Kurasi ini pada dasarnya tidak salah. Semua orang ingin menampilkan sisi terbaiknya. Tapi ketika kurasi berubah menjadi rekayasa, saat kita mulai menampilkan sesuatu yang bukan kita—itulah awal dari krisis keaslian.
Krisis Keaslian: Ciri dan Dampaknya
Krisis keaslian (authenticity crisis) di media sosial terjadi ketika seseorang merasa terputus dari dirinya sendiri. Ia menampilkan sesuatu yang jauh berbeda dari apa yang sebenarnya ia rasakan, pikirkan, atau alami. Beberapa tandanya antara lain:
- Merasa harus tampil sempurna setiap saat.
- Takut dinilai jika menunjukkan sisi rentan atau kekurangan.
- Mengukur nilai diri berdasarkan jumlah likes, views, dan followers.
- Menyesuaikan opini atau selera hanya agar diterima oleh tren atau komunitas.
Dampaknya? Tidak kecil. Krisis keaslian bisa menyebabkan kecemasan sosial, kelelahan emosional, gangguan kepercayaan diri, bahkan depresi. Kita bisa merasa kehilangan arah, kehilangan koneksi dengan diri sendiri, dan hidup dalam tekanan yang terus menerus.
Algoritma dan Tekanan untuk Viral
Salah satu penyebab utama krisis keaslian di media sosial adalah algoritma. Algoritma platform seperti Instagram, TikTok, atau YouTube dirancang untuk mempromosikan konten yang “menarik”—yang membuat orang betah menonton, menyukai, dan membagikan.
Konten yang viral sering kali adalah konten yang dramatis, lucu, sensual, kontroversial, atau emosional. Hal ini membuat pengguna tergoda untuk membuat konten yang bukan dirinya, hanya demi engagement.
Tekanan untuk “naik daun” ini menciptakan budaya performatif, di mana orang lebih fokus pada bagaimana mereka terlihat daripada siapa mereka sebenarnya.
Di Antara Autentisitas dan Estetika
Apakah itu berarti kita harus berhenti memikirkan estetika atau berhenti berbagi momen bahagia? Tentu tidak.
Keaslian bukan berarti membuka semua sisi kehidupan tanpa filter. Autentik berarti menjadi jujur terhadap diri sendiri, baik saat sedang di atas maupun di bawah. Autentik berarti konsisten antara nilai yang diyakini dengan apa yang ditampilkan, meski dikemas dalam visual yang estetik.
Kita bisa tetap mengedit foto, menata feed, atau memilih kata yang indah—selama apa yang disampaikan adalah versi jujur dari siapa kita.
Cara Menjaga Keaslian Diri di Media Sosial
1. Kenali Dirimu di Luar Media Sosial
Luangkan waktu untuk refleksi. Siapa kamu sebenarnya? Apa nilai yang kamu yakini? Apa yang membuatmu bahagia, bukan hanya terlihat bahagia? Semakin kamu mengenal diri sendiri, semakin sulit dunia luar memaksamu untuk jadi orang lain.
2. Berbagi Secara Jujur, Bukan Sekadar Viral
Kamu tidak harus menceritakan semua hal pribadi. Tapi ketika kamu berbagi, pastikan itu datang dari tempat yang tulus—bukan sekadar demi engagement. Orang-orang bisa merasakan kejujuran, dan itu menciptakan koneksi yang lebih dalam.
3. Berani Menunjukkan Sisi Manusiawi
Tak ada yang sempurna. Sesekali, tunjukkan sisi rentan, gagal, atau lelah. Ini bukan kelemahan, justru kekuatan. Seringkali, konten yang paling menyentuh hati adalah yang paling sederhana dan jujur.
4. Jangan Bandingkan Diri dengan Feed Orang Lain
Ingat, yang kamu lihat di media sosial hanyalah highlight, bukan keseluruhan hidup seseorang. Bandingkan dirimu dengan dirimu sendiri—versi kemarin, bukan dengan versi editan orang lain.
5. Kurangi Konsumsi, Tingkatkan Kesadaran
Jangan hanya scroll tanpa arah. Sadarilah apa yang kamu konsumsi. Apakah itu menginspirasi atau justru membuatmu merasa kurang? Kurasi konten yang sehat, dan ikuti akun-akun yang membangkitkan kepercayaan diri dan keaslianmu.
Penutup: Menjadi Diri Sendiri adalah Keberanian
Di era digital, menjadi diri sendiri bisa terasa seperti tindakan revolusioner. Tapi justru di situlah nilai sejatinya. Keaslian adalah mata uang yang langka namun sangat berharga. Orang mungkin tertarik oleh visual yang cantik, tapi mereka bertahan karena koneksi yang otentik.
Baca Juga :
Media sosial adalah alat. Ia bisa memperkuat siapa kita, atau justru membuat kita kehilangan diri. Pilihannya ada di tangan kita. Maka mari berani tampil jujur, apa adanya—karena dunia tidak butuh versi palsu dari siapa pun. Dunia butuh kamu, yang asli.